Sebelum membaca artikel ini, mari membiasakan diri untuk menyebut orang-orang yang tak bisa mendengar sebagai orang Tuli, dengan huruf ‘T’ kapital. Juga mari membiasakan diri untuk menyebut orang-orang yang bisa mendengar sebagai orang dengar, bukan orang normal.
———
Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan hati dan pikirannya. Ada beberapa orang yang senang mengutarakannya secara verbal, ada yang senang menuliskannya jadi sebuah cerita, ada pula yang senang menyimpannya dalam hati. Tak ada yang salah. Setiap orang punya hak untuk memilih, tak terkecuali bagi para disabilitas – termasuk di dalamnya orang-orang Tuli.
Baca juga: Tidak Selalu Materi, Ini 7 Contoh Sedekah Jariyah Yang Mudah Untuk Diterapkan!
Ya, orang-orang Tuli memiliki hak untuk memilih dengan cara apa mereka ingin berekspresi. Ada yang senang belajar berbicara dan mengutarakannya secara verbal, ada yang senang belajar bahasa isyarat dan mengutarakannya dengan tangan dan jari, ada yang senang menuliskan isi hati dan pikirannya, ada pula yang memilih diam dan menyimpannya dalam hati. Tak ada keharusan bagi mereka untuk memilih hanya satu cara mengekspresikan diri. Karenanya tak ada keharusan bagi mereka untuk bisa berbicara.
Di Hari Disabilitas Internasional 2021, banyak orang memperbincangkan isu terkait orang Tuli yang tak bisa berbicara. Tak hanya oleh masyarakat biasa, figur publik juga banyak yang mengangkat isu ini. Surya Sahetapy, misal. Seorang figur publik yang juga adalah aktivis disabilitas. Bertajuk “Stop Audism”, Surya dan rekan-rekan aktivis lainnya mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih berempati pada kawan-kawan Tuli.
Pengertian Audism
Mengutip perkataan Tom Humphries (1975), audism adalah bentuk pemikiran yang menganggap bahwa orang yang dapat mendengar lebih baik daripada orang Tuli. Surya pun memperkuat definisi tersebut dengan mengunggah tulisan di akun Instagram pribadinya mengenai ragam sikap dan pemikiran audism. Menurutnya, sikap dan pemikiran audism dapat mencakup:
- Tuli tak mampu mencapai level orang dengar dalam berintelektual, berbahasa, berkarir, berkemampuan finansial, dan berkomunikasi;
- Mereka tak bisa jadi guru, pilot, pengacara, dan dokter;
- Hanya orang dengar yang bisa mengendarai kendaraan;
- Orang Tuli tak bisa berbicara sehingga tak punya masa depan;
- bahasa isyarat membuat orang malas berbicara;
- Tuli tak bisa berbaur dengan orang dengar;
- Mereka yang tak memakai alat bantu dengar tidak akan bisa sukses; hingga
- jika ingin sukses, semua orang Tuli harus berlatih berbicara.
Baca juga: Ini Loh 5 Cara Sedekah Online Non Materi Termudah Untuk Dilakukan!
Bukan tanpa alasan, pola pemikiran audism lahir dari sistem pendidikan dan sosial yang memisahkan antara disabilitas (terutama Tuli) dengan non-disabilitas dalam kehidupan. Tidak adanya pendidikan tentang disabilitas juga menyebabkan banyak non-disabilitas baru mengenal Tuli di usia dewasa. Akibatnya nilai kepekaan dan empati masyarakat pun rendah akan orang-orang Tuli. Banyak orang berpikir bahwa orang yang tak bisa mendengar itu tidak normal. Banyak juga yang berpikir bahwa mereka harus bisa berbicara dan memahami pembicaraan.
Menormalisasi Orang Tuli yang Tak Berbicara
Padahal tidak semua orang Tuli bisa berbicara. Tidak hanya dibutuhkan kegigihan untuk mau terus belajar, ada banyak faktor yang dibutuhkan seorang Tuli jika ingin bisa berbicara dan memahami pembicaraan. Mulai dari tingkat kemampuan mendengar, investasi alat bantu dengar yang nilainya puluhan hingga ratusan juta, terapi wicara yang berkesinambungan dengan biaya yang tak sedikit, serta waktu dan komunikasi orang tua dengan anak-anak Tulinya. Miris. Realitanya masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam garis kemiskinan. Jangankan untuk berinvestasi membeli alat bantu dengar dan terapi wicara, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja masih banyak yang kesulitan. Mendengar fakta ini, apakah tuntutan bagi orang Tuli untuk bisa berbicara masih relevan?
Tips Menghindari Audism
Tak ketinggalan, Surya juga memberikan tips dalam menghindari sikap dan pemikiran audism. Kita dapat memulainya dengan menanamkan pemikiran bahwa orang Tuli tidak harus berbicara. Mereka dapat menentukan apakah mereka ingin berbicara atau tidak, terlepas dari apakah mereka bisa atau tidak. Tanamkan juga pemikiran bahwa tak ada yang membedakan antara orang yang berbahasa dan berkomunikasi secara lisan dengan orang yang menggunakan bahasa isyarat maupun tulisan. Kemampuan berbicara bukanlah satu-satunya tolak ukur dari tingkat kepandaian maupun kecakapan seseorang. Lebih lanjut, kita dapat menanyakan preferensi mereka saat hendak berkomunikasi dengan mereka. Apakah mereka lebih nyaman berkomunikasi dengan berbicara, tertulis, atau berbahasa isyarat (jika kita paham).
Hal lain yang juga perlu disadari secara kolektif, bahwa sikap dan pemikiran audism bukan hanya permasalahan orang-orang Tuli. Ini adalah permasalahan bersama yang perlu dientaskan dengan cara mengedukasi dan memperbaiki miskonsepsi tentang orang Tuli dan kemampuan berbicaranya ke lebih banyak lapisan masyarakat. Sama seperti orang dengar, orang Tuli pun beragam dan memiliki hak untuk memilih cara mengekspresikan dirinya. Dimulai dari Hari Disabilitas Internasional 2021 ini, mari bahu-membahu menciptakan lingkungan masyarakat yang inklusif, salah satunya dengan menghilangkan diskrimasi terhadap para disabilitas, yang meliputi sikap audism terhadap orang Tuli.
Baca juga: Perbedaan Infaq dan Sedekah Yang Belum Banyak Diketahui