Kisah tentang Abdurrahman bin Auf yang menjelaskan hadist Rasulullah SAW untuk tidak keluar dari daerah yang sedang terjangkit wabah ataupun mendatanginya jika berada diluarnya sudah cukup banyak tersebar selama pandemi covid-19 ini berlangsung. Hadist itu pun menjadi acuan bagi banyak muslim di Indonesia untuk mematuhi PPKM darurat.
Lalu, adakah penjelasan lain yang menjadi alasan seorang muslim harus mematuhi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM darurat ini? Terlebih, hal ini pun membatasi kegiatan ibadah, seperti shalat berjama’ah di masjid hingga shalat jum’at.
Jawabannya, Ada. Salah satunya adalah konsep maqashid syariah. Secara bahasa ‘maqashid’ berarti maksud atau tujuan, sedangkan ‘syariah’ adalah aturan atau hukum Allah swt agar setiap manusia mendapat pedoman untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Secara singkat, maqashid syariah diartikan sebagai tujuan dari sebuah syariat atau aturan.
Maqashid Syariah
Konsep atau gagasan ini sebenarnya sudah dikenal sejak masa Imam Haramain dan Imam Al Ghazali, lalu disusun secara sistematis oleh seorang ahli ushul fikih bernama Al-Syatibi yang termaktub dalam kitab Al-Muwwafaqat fi Ushul Al-Ahkam (Juz II – Kitab Al-Maqashid).
Maqashid Syariah ini terbagi menjadi 3 tingkatan yang berlaku prioritas di dalamnya:
Pertama, Maqashid Dharuriyat, yang berarti sesuatu yang harus ada demi kemaslahatan umat, dan jika tidak ada maka akan menimbulkan kerusakan.
Khususnya di dalam Maqashid Dharuriyat, memiliki 5 tingkatan tujuan, yaitu:
- Menjaga Agama (Hifzh Ad-Din)
- Menjaga Jiwa (Hifzh An-Nash)
- Menjaga Akal (Hifzh Al-Aql)
- Menjaga Keturunan (Hifzh An-Nasl)
- Menjaga Harta (Hifzh Al-Mal)
Kedua, Maqashid Hajiyat, yang berarti sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesulitan, seperti rukhsah atau keringanan.
Ketiga, Maqashid Tahsinat, sesuatu yang di dapat untuk kebaikan dan menghindari keburukan dalam hidup, seperti memiliki akhlak yang baik. (Republika.co.id, 2021)
PPKM Darurat dan Maqashid Syariah

Di dalam konteks PPKM darurat ini ada berbagai aturan seperti himbauan untuk tidak shalat berjama’ah di masjid, tidak menyelenggarakan shalat Ied, aturan peregangan shaf atau pemberlakuan shift saat shalat jum’at , hingga pembatalan ibadah haji selama 2 tahun berturut-turut, dalam hal inilah contoh Maqashid Syariah berlaku.
Tujuan diberlakukannya PPKM darurat tentu adalah untuk menekan angka kematian akibat covid-19, dan hal ini sejalan dengan tujuan menjaga jiwa (hifzh an-nash), agar tujuan menjaga agama sebagai tujuan yang paling penting bisa tetap kita prioritaskan.
Meski, kemuliaan shalat berjama’ah, shalat Ied dan aturan shaf sholat seakan terabaikan, tetapi pada hakikatnya selama ada keringanan yang bisa diambil dan apa-apa yang menjadi kewajiban tak ditinggalkan, maka tujuan menjaga jiwa tak boleh diabaikan.
Sederhananya, tanpa kita bisa menjaga nyawa/jiwa, bagaimana kita bisa menjaga agama?
Tentu, dalam penerapan PPKM darurat ini pun pasti sangat memunculkan dilema dengan ekonomi diri dan keluarga, bagaimana bisa makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari jika semua serba terbatas? Untuk itu, kita pun harus sangat ketat menjaga protokol kesehatan dan vaksin sebagai bentuk ikhtiar. Meskipun ada banyak hal yang dikorbankan.
Hal-hal yang harus dikorbankan
Ingat kembali, bahwa 5 tujuan ini memiliki tingkatan, artinya tingkat yang lebih tinggi itu yang paling menjadi prioritas untuk dijaga.
Contohnya, saat kita harus diberi pilihan antara menjaga agama (menjaga iman untuk tidak murtad) dengan ancaman dibunuh dan sudah benar-benar tak ada celah untuk jiwa bisa selamat kecuali lepaskan iman, maka lebih baik syahid dengan agama terjaga daripada jiwa selamat tetapi agama hilang.
Begitupun tingkatan selanjutnya, demi menjaga jiwa ini dan tetap terjaga sebagai seorang muslim, maka ada tingkatan yang kita harus rela lepaskan.

Di masa pandemi ini, ada banyak yang rela melepas harta (Hifzh Al-Mal), seperti rela pendapatannya menurun, melepas keturunan (hifzh an-nasl), seperti anak di perantauan tidak pulang demi jiwa terjaga, atau menjaga jarak dan interaksi dengan anak-anak dan keluarga dirumah setelah dari luar.
Hingga melepas akal (hifzh al-Aql), seperti bersabar untuk tertekan akal dan pikiran di masa sulit ini. Demi bisa menjaga nyawa (hifzh an-nash) dan menjaga agama (hifzh Ad-Din), maka ketiganya harus rela dilepaskan.
Itulah alasan mengapa kita sebagai seorang muslim harus mematuhi setiap protokol kesehatan dengan baik hingga PPKM yang masih terus berlanjut ini. Sebisa mungkin aktivitas yang mengundang kerumunan harus kita hindari.
Contohnya jika biasanya kita berqurban di lingkungan rumah dengan menyaksikan langsung dan bergotong royong mengurusnya di masjid, kini bisa kita percayakan kepada pihak ketiga seperti yayasan yang menyalurkan daging qurban ke pelosok hingga manfaat qurban pun dapat maksimal.
Selain itu, tentu ada beberapa hal yang bisa kita lakukan di masa sulit ini, seperti:
1. Membantu sesama

Beberapa dari kita ada yang sangat merasakan dampak pandemi ini, dari mulai kehilangan pekerjaan hingga sulit mendapatkan makanan sehari-hari. Karenanya, bagi kita yang dilapangkan rezekinya oleh Allah swt sudah sepatutnya memberi bantuan dalam hal apapun kepada sesama, sesederhana memberikan apresiasi kepada para petugas makam covid-19.
2. Do’a dan Tawakkal tentang Rezeki

Ada pula porsi do’a dan tawakkal yang harus dijaga dan dijalankan selain dari ikhtiar. InsyaAllah, Allah swt akan memberikannya melalui jalan yang terduga.
3. Mendo’akan pemimpin negeri

Tentu kita pun sangat bisa berdo’a agar Allah swt memberikan petunjukNya kepada para pemimpin negeri ini untuk mengambil keputusan dan kebijakan terbaik dalam menangani pandemi di negeri ini, agar kondisi sulit ini bisa kita lalui dengan segera.
Saling mengerti, memahami dan mendukung satu sama lain menjadi kunci agar pandemi ini bisa segera terlalui. Semoga, kita bisa mengambil banyak hikmah untuk senantiasa menjadi muslim yang penuh kesyukuran dan kesabaran dalam menghadapi setiap apapun nikmat dan ujian yang diberikan oleh Allah swt.
Aamiin allahumma aamiin.