Saat Pagi masih gelap Abah Isep mulai bersiap. Tubuhnya lemah, tangannya menekuk, dan untuk berdiri saja ia harus dituntun perlahan. Ia tidak bisa bicara, hanya bisa menggunakan bahasa isyarat. Tapi setiap hari, sebelum matahari muncul, Abah sudah duduk di pinggir jalan atau depan masjid, membuka lapak kecil untuk menjual kopi dan rokok.

Usianya 54 tahun. Sejak kecil, Abah Isep memiliki kelainan fisik—tak bisa bicara dan tubuhnya lemah. Namun saat itu ia masih bisa berjalan, membawa barang, dan hidup cukup mandiri. Sayangnya, sejak empat tahun terakhir, kondisi tubuhnya terus menurun dan tangan Abah mulai menekuk sendiri, tubuhnya sering kejang, dan ia tak lagi mampu berjalan tanpa bantuan.

Meski tubuhnya tak lagi mendukung, Abah menolak untuk hanya tinggal di rumah. Ia ingin bekerja, berusaha, mandiri—meski harus berjualan dengan kondisi fisik yang sangat terbatas. Saat keluarganya khawatir dan melarang, Abah Isep justru merasa kecewa. Pernah satu kali, karena terlalu ditekan untuk diam di rumah, ia hampir memukul sang kakak. Itu bukan amarah, tapi ungkapan kuat dari seseorang yang tidak ingin menjadi beban.

Kini Abah tinggal bersama kakaknya, Mak Eulis, dan kakak iparnya, Abah Bunbun, di rumah sederhana di Garut. Mereka hidup dalam keterbatasan, namun penuh kasih sayang. Abah Bunbun bekerja sebagai tukang ojek dan sesekali menjadi kuli bangunan. Penghasilannya sangat kecil, hanya sekitar 20rb-30rb per hari. Tapi dengan penghasilan sekecil itu, ia tetap berusaha menafkahi keluarga dan merawat Abah Isep dengan penuh keikhlasan.

Abah Isep berjualan dari jam 5 pagi sampai sekitar jam 10 siang. Dengan dagangannya rokok dan kopi. Kadang jika laku, penghasilannya bisa Rp150.000–200.000. Tapi itu masih kotor—setelah dipotong modal, yang tersisa mungkin hanya Rp50.000. Belum tentu cukup untuk kebutuhan pribadi, apalagi untuk membantu keluarga.

Ketika tak ada uang untuk beli lauk, mereka hanya makan mie dengan kuah yang banyak agar kenyang. Tapi tak ada keluhan dari keluarga ini—yang ada hanya syukur, bahwa hari ini mereka masih bisa makan bersama.

Abah belum pernah menikah. Sejak kedua orang tuanya meninggal sekitar 20 tahun lalu, ia tinggal bersama Mak Eulis. Banyak saudara yang menawarkan tempat tinggal, tapi hanya kepada Mak Eulis-lah ia memeluk erat. Seolah berkata: “Di sinilah aku ingin tinggal.” Sejak saat itu, keluarga kecil inilah yang menjadi sandaran hidup Abah Isep.

Kini, keluarga berencana mencari usaha yang lebih aman untuk Abah. Mereka ingin beralih ke ternak lele atau ayam—karena sudah ada lahan, tapi tidak ada modal. Usaha ini diharapkan bisa menjadi sumber penghasilan yang lebih stabil tanpa harus membuat Abah duduk di jalanan dalam risiko.

Mereka tak meminta banyak. Hanya ingin Abah bisa terus hidup mandiri, tetap merasa berguna, dan menjalani hari-harinya dengan layak—tanpa cemas akan keamanan dan kesehatannya. Dengan sedikit rezeki dari kita, Abah tak perlu lagi berjualan dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Ia bisa memulai usaha ternak di rumah, dibantu keluarganya. Sekecil apa pun bantuanmu, sangat berarti untuk mengangkat kembali semangat seorang lelaki tangguh yang tak pernah menyerah pada keterbatasan.

Dana yang terkumpul akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Abah Isep dan keluarganya, membantu biaya pengobatan dan perawatan Abah, serta modal awal untuk memulai usaha. Insya Allah, jika ada kelebihan dana, akan disalurkan kepada penerima manfaat lain melalui program-program kemanusiaan Yayasan Sahabat Beramal Jariyah.

Donatur	118
Donasi	Rp2.440.419
Tersalur	Rp0
Penerima	1 Jompo Tersantuni