Di usia 61 tahun, Pak Sumadiyono masih harus berdiri seharian di bawah terik matahari dan debu jalanan. Bukan untuk bersantai atau menikmati masa tua—tapi untuk mengatur parkir kendaraan demi sesuap nasi.

“Dulu saya sopir bus, Mas… sampai tahun 2002 saya mengalami kecelakaan. Bus yang saya kemudikan terguling, kaki saya patah.” Suaranya bergetar saat bercerita, matanya menatap kosong, seolah masih mengingat rasa sakit yang dulu terasa di sekujur tubuhnya.

Kini, puluhan tahun setelah kejadian itu, Pak Sumadiyono hanya bisa berjalan dengan tertatih. Namun semangatnya tidak pernah patah.

Setiap pagi, ia berangkat dari rumah bersama harapan kecil: agar hari ini ada pengunjung toko atau klinik yang mau membayar parkir dengan ikhlas.
Rp30.000 per hari—itulah penghasilan beliau. Dan itu pun tidak selalu pasti.

Di rumah, sang istri menunggu dalam kondisi yang jauh dari kata sehat. Sering kali ia terjatuh di kamar mandi karena tubuhnya yang tak lagi kuat. Pernah, jatuhnya membuat tangan sang istri patah dan harus dibalut. Sayangnya, dengan keterbatasan biaya, pengobatan seadanya pun sudah dianggap cukup.

“Kadang orang mengira saya ini pengemis, Mas…
Padahal saya kerja. Saya berdiri, atur kendaraan, keluarkan keringat,” ucapnya lirih sambil menunduk.

Tidak ada yang mudah bagi Pak Sumadiyono. Tapi ia memilih bertahan, meski dengan tubuh yang sudah tak sekuat dulu. Ia tetap ingin mencukupi kebutuhan rumah tangga, walau hanya sekadar untuk makan hari itu juga.

Sahabat Amal, mari bantu Pak Sumadiyono dan istrinya. Agar mereka tak lagi harus memilih antara makan atau berobat, antara istirahat atau terus bekerja meski sakit. Sedikit uluran tanganmu bisa menjadi pelipur bagi mereka yang selama ini bertahan dalam diam.

Donasi sekarang untuk jadi bagian dari harapan Pak Sumadiyono. Karena tidak semua orang bisa tua dalam kenyamanan.

Donatur	6
Donasi	Rp90.000
Tersalur	Rp0
Penerima