Di usia senja nya, tubuh yang renta itu sering menggigil menahan sakit, dan bibirnya mengigau memanggil-manggil nama almarhum suami dan anak semata wayangnya yang sudah lama meninggalkannya. Sudah 12 tahun ia menjalani hidup seorang diri setelah suami tercinta wafat karena sakit. Namun, tak lama setelah itu, anak satu-satunya juga berpulang, menyisakan duka yang tak kunjung reda.

Untuk bertahan hidup, ia memaksa tubuh tuanya bekerja sebagai pemetik daun teh. Setiap hari dengan langkah perlahan dan tangan yang mulai gemetar, ia mendaki kebun teh yang curam, berjuang di bawah terik matahari demi mendapatkan uang yang paling banyak didapat hanya Rp7.000 sehari. Itu pun kalau kondisi tubuhnya sedang sehat.

“Sekilo teh dihargai tujuh ratus rupiah. Kalau Mak kuat, bisa dapet sepuluh kilo... tapi sekarang jarang bisa segitu,” tutur Mak Epoy pelan.

Namun tubuh tak bisa lagi dipaksa. Beberapa waktu lalu, saat memetik teh di lereng yang licin, Mak Epoy terjatuh dari ketinggian dua meter lebih. Tangan kirinya patah. Kini, Mak ingin berobat ke rumah sakit namun ada keterbatasan biaya, sehingga ia hanya mampu mendatangi tukang pijat tradisional di dekat rumahnya. Sampai hari ini, tangan nya masih bengkak. Tak bisa bergerak leluasa. Dan rasa sakitnya tak kunjung reda.

Kini, Mak Epoy makin sulit bekerja. Makin sulit makan. Bahkan, untuk sekadar bertahan hidup sehari pun, ia tak tahu harus berharap pada siapa.

Di malam-malam sepi, saat rasa lapar dan sakit datang bersamaan, rintihan lirih sering terdengar dari balik rumah kayunya. Kadang ada tetangga yang iba, datang mengantarkan sepiring nasi. Tapi esok harinya, tidak ada yang pasti.

“Mak pernah nggak makan dua hari. Cuma bisa nangis sambil peluk perut yang kosong,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

Di usia yang seharusnya menjadi masa istirahat dan bersandar pada anak cucu, Mak Epoy justru harus memikul semua beban hidup sendirian. Sakit yang tak kunjung reda, rumah yang hampir roboh, dan perut yang sering dibiarkan kosong.

Dengan sedikit rezeki yang kita sisihkan hari ini, kita bisa menghadirkan harapan baru untuk beliau—membantu kebutuhan hariannya, pengobatan medis yang layak, dan memperbaiki rumah sederhananya yang sudah tak layak huni.

Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Mak Epoy, biaya renovasi rumahnya, dan membantu biaya pengobatan tangan, serta jika terdapat kelebihan dana akan disalurkan kepada penerima manfaat lainnya dibawah naungan yayasan sahabat beramal jariyah.

Donatur	2
Donasi	Rp25.000
Tersalur	Rp0
Penerima